Cari Blog Ini

Senin, 02 Mei 2016

SEKOLAH TINGGI PERAWAT DAN BIDAN, SEKEDAR BISNIS ATAU KEBUTUHAN ?



Hari ini tepat diperingati hari pendidikan nasional.
Apa yang tersirat dalam benak kita ketika mengingat “hari pendidikan “. Mahalnya biaya pendidikan di Negara kita kadang menjadikan kita lelah, letih untuk berupaya mencapainya. Pendidikan dasar 9 tahun saat ini mungkin sudah berhasil. Tetapi bagaimana dengan pendidikan tinggi, terutama pendidikan untuk tenaga kesehatan.
Kita semua sepakat bahwa pendidikan adalah hak setiap individu. Karena alasan itulah Kementrian Pendidikan membuka seluas-luasnya kesempatan untuk  mengenyam pendidikan.  Hal itulah yang berlaku pada  pendikan bidan dan keperawatan saat ini, sehingga pantaslah organisasi kita sendiri terasa tabu untuk menolak alasan tersebut dan tak kuasa membendung pesatnya berdirinya sebuah instansi pendidikan diploma keperawatan dan kebidanan.
Sayangnya, tidak semua orang mampu melihat alasan yang baik tersebut. Kemampuan untuk meneropong alasan tersebut ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan keinginan untuk  mencari keuntungan semata. Sadar atau tidak sadar bahwa saat ini pendidikan kesehatan  diwarnai dengan seluk beluk bisnis. Pertimbangan untuk mengasah sebuah kualitas lulusan kita menjadi prioritas yang berada di nomor kesekian

Mungkin bisa jadi, mendapat nomor sebagai akhir dari penomoran.
Animo besar masyarakat terhadap pendidikan perawat dan bidan inilah yang menyebabkan banyak berdiri instansi pendidikan diploma keperawatan dan kebidanan, ibarat jamur tumbuh di musim penghujan.  Seiring dengan bertambahnya jumlah instansi pendidikan itu, perkembangan jenjang pendidikan bidan pun ikut melaju pesat. Dimulai dari berdirinya sekolah bidan,berkembang menjadi Pendidikan Program Bidan ( P2B), kemudian berkembang menjadi Diploma Kebidanan, selanjutnya ada D IV bidan pendidik , S1 kebidanan dan perkembangan jenjang yang paling puncak saat ini adalah S2 Kebidanan.begitu juga keperawatan, mulai dari SPK,  kemudian Akper, S1 keperawatan dan sekarang Ners.
Namun sangat disayangkan kemajuan perkembangan jenjang pendidikan perawat dan bidan ini tidak diikuti oleh bertambahnya kesejahteraan dari para lulusan. Banyak lulusan keperawatan dan kebidanan yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensinya. Tetapi banyak pula yang sesuai tetapi dengan upah yang tidak seberapa.
Masih banyak di kalangan pendidikan kesehatan yang kurang memperhatikan kualitas peserta didik. Hal itu bisa kita lihat dari pertama kali instansi tersebut melaksanakan sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru. Pada proses awal ini banyak yang melakukannya tanpa test, baik itu tes tulis sebagai cerminan tingkat akademisnya, atau test psikotest sebagai tolak ukur ketangguhan kepribadian atau test kesehatan sebagai cermin diri yang sehat.
Kalaupun ketiganya sudah dilaksanakan, pelaksanaanya pun masih banyak yang memberlakukan sistem persaudaraan, pertemanan atau yang lebih fatal lagi karena alasan jual beli. Alhasil kita tidak hanya menyaksikan KKN di siaran televisi saja, tetapi kita menyaksikan live di sekitar kita. Bahkan mungkin lebih jauh lagi, sudah menjadi teladan yang tidak baik bagi generasi kita. Bukankah kita berharap hal yang demikian mengalami pengurangan jumlahnnya??. Semoga menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Semua pasti mempunyai harapan, bahwa proses awal yang demikian tidak berlanjut, ketika proses pendidikan tersebut sedang bergulir.

Secara administrarif sudah mahal , bahkan ada lagi yang melalui “jalur khusus” oleh oknum-oknum tertentu lebih mahal lagi jasanya. Lepas dari itu, sangat kita sayangkan bagi para lulusannya. Terutama perawat dan bidan. Gaji yang mereka terima ketika sudah bekerja tidak sebanding dengan biaya sekolah dan resiko yang di pekerjaan. Katakanlah, resiko tertular penyakit, resiko keselamatan pasien dan keselamatan diri sendiri. Kesejahteraan mereka tak pernah terfikirkan oleh para petinggi kita. Lulus, mencari kerja sulit. Ikut mengabdi di instansi pemerintah masuknya harus memakai biaya, upahnya tak lebih dari 500rb. Melihat itu, upah yang tidak setara dengan pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Kalkulasi secara ekonomi, kerja 8 jam sehari, meninggalkan rumah, anak dan keluarga. Gaji seorang pembantu saja lebih dari itu, bagaimana bisa?

2 komentar:

  1. Bukankah yang di minati bukan hanya dua jurusan itu saja, melainkan jurusan seperti kedokteran umum dan kedokteran gigi lantas apakah jurusan ini juga di buat ajang bisnis atau kebutuhan negara

    BalasHapus
  2. siap abang...
    nnti dibantu untuk melanjutkan ya

    BalasHapus

Silahkan Komentar